mimi.my.id :Kisah Sahur Pertama


"Sahur nanti kita makan apa, Ma?"
Tiga kali sudah Nurul bertanya pada mamanya. Tiga kali juga dia mendapat jawaban yang sama.
"Pokoknya lezat. Nanti mama bangunkan."
"Nasi, tempe, kecap manis lagi?"
"Ada sepotong ayam untukmu."
"Sip. Aku tidur dulu ya Ma."
Arbayah mencium Nurul dan dengan lembut dia berbisik. "Jangan lupa baca doa. Doa untuk mama, doa untuk almarhum papa. Doa untukmu juga. Nanti kalau lebaran, pakai baju baru."
Kelopak mata Nurul membesar. Kantuknya hilang sesaat.
"Hore. Baju baru. Tapi bukan baju baru seperti tahun lalu kan Ma?"
"Yang mana? Oh ya ya, mama baru ingat. Maaf ya, Nak. Itu memang sarung batik yang mama jahit untuk baju lebaranmu. Sarung batik itu pemberian papamu waktu melamar dulu. Tapi jarang dipakai lho." Lirih sekali suara Arbayah.

Kisah Sahur Pertama


"Teman-temanku bilang, itu untuk sarung. Bukan untuk baju."
"Ya sudah. Nanti mama ajak kamu ke mal sebelum lebaran. Jatahmu seratus ribu."
Nurul memeluk mamanya. Bagi Nurul, pantang pergi tidur sebelum mencium mamanya.
Meskipun baru kelas lima sekolah dasar, Nurul sudah mengerti kesulitan mamanya. Karena itu, ia selalu tidur cepat agar bisa bangun pukul empat.
Dia menjerang air untuk dicampur dengan air sumur yang dingin. Mamanya tak kuat mandi dengan air dingin.
Mamanya selalu berangkat ke pasar usai sholat subuh. Nurul sendiri sibuk mempersiapkan buku pelajaran, menyetrika baju dan siap-siap berangkat sekolah.
Sebelum ke sekolah, dia mampir dulu ke rumah Bu Suwinah. Ia selalu membawa 20 risoles buatan Bu Suwinah untuk dijual pada teman-temannya. Tak jarang, Bu Atun, wali kelasnya, juga membeli risoles Itu.
Hasil berjualan risoles ia tabung. Cita-citanya, uang tabungan itu akan ia gunakan untuk keperluan sekolah di SMP.

Nurul tak pernah sarapan. Bukan tidak mau melainkan tak sempat juga untuk berhemat.
Di sekolah, Nurul adalah ketua kelas. Ia anak cerdas.
"Aku tidur duluan ya Ma."
Arbayah mengangguk. Sedaya upaya Arbayah menyembunyikan sakitnya. Sudah seminggu dia demam. Belum juga turun panas tubuhnya.
Arbayah kuat. Dia tidak perduli pada demamnya. Ia tetap saja subuh-subuh sudah ke Pasar Pagi. Dia harus segera menggelar dagangannya. Bayam, cabai, kacang panjang, tomat dan terong. Jika kesiangan, pengunjung pasar sudah sepi. Sayur itu layu dan tidak bisa dia jual esok, kecuali terong dan cabai.
Sudah sebulan ini pasar sepi pengunjung. Arbayah tetap berjualan. Jika tidak, tak ada uang untuk membeli beras dan sangu anaknya yang masih kelas lima.
Sebenarnya Arbayah sudah minum obat penurun panas. Dia bingung, panasnya tak turun. Tenggorokannya semakin kering. Dadanya sesak. Kadang ia terengah-engah mencari udara.
Sebagai orang tua tunggal, tak ada jalan lain bagi Arbayah untuk memperbaiki nasibnya kecuali meneruskan usaha mendiang suaminya.

Sudah dua tahun suaminya berpulang. Persis dua hari menjelang ramadhan. Sejak itu pula kehidupan Arbayah semakin sulit. Kesulitan yang tak pernah ia perlihatkan pada putri tercinta. Satu-satunya.
"Aku berjanji padamu, Mas. Aku akan besarkan anak kita." Kata Arbayah sesaat sebelum jenazah suaminya ditandu ke makam, sekitar 300 meter dari rumah mungilnya, dua tahun lalu.
Malam semakin larut. Arbayah tak bisa tidur. Tubuhnya semakin panas. Nafasnya semakin sesak. Sekuat tenaga dia menjaga mulutnya untuk tidak mengerang. Ia tak ingin Nurul terbangun.
Azan subuh berkumandang di surau. Nurul terbangun. Ia sadar, waktu sahur telah berlalu. Wajahnya cemberut. Ia ingat sepotong ayam goreng yang dijanjikan mamanya untuk sahur di hari pertama. Air matanya mengalir karena sahur pertama lewat begitu saja.


"Ma, bangun. Kita terlambat sahur." Kata Nurul seraya menggoyang-goyang tangan mamanya.
Tangis Nurul memecah subuh menjelang pagi yang masih sunyi. Mama yang amat dicintai tidur selamanya

No comments